Senin, 02 Jun 2025
Beranda
Cari
Menu
Bagikan
Lainnya
6 Mei 2025 08:43 - 3 menit membaca

Khoirul Rosyadi: Dari Madura ke Moskow, Jejak Seorang Sosiolog yang Mengabdi

Bagikan

Di sebuah sudut Jawa Timur, tepatnya di Gresik, Khoirul Rosyadi lahir pada 12 April 1974. Perjalanan hidupnya yang penuh dedikasi membawanya dari kampung halaman ke ruang kelas universitas, hingga ke jalan-jalan bersalju Moskow. Kini, ia mengemban tugas penting sebagai Atase Pendidikan di KBRI Moskow, Rusia, memperkuat hubungan pendidikan antara Indonesia dan negeri beruang merah itu.

Langkah Awal: Filosofi, Sosiologi, dan Mimpi yang Dibawa ke Rusia

Khoirul memulai perjalanan akademisnya dengan gelar Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1998. Namun, minatnya pada dinamika masyarakat membawanya kembali ke UGM untuk meraih gelar Magister Sosiologi pada 2001. Tesisnya yang meneliti peran kiai dalam kepemimpinan Gus Dur menjadi awal dari ketertarikannya pada interaksi antara kekuasaan, budaya, dan nilai sosial.

Langkah berani ia ambil pada 2009 ketika memutuskan melanjutkan doktoral di Peoples’ Friendship University of Russia (RUDN), Moskow. Di sana, ia menggali konsep modal sosial dan perannya dalam pengembangan usaha kecil di Madura. Disertasinya, Social Capital in Indonesian Politics, menjadi fondasi penting bagi pemahaman tentang bagaimana kepercayaan dan jaringan sosial memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Khoirul Rosyadi merupakan guru besar sosiologi ekonomi, yang dikukuhkan pada Selasa, 21 November 2023 di Kampus Universitas Trunojoyo, Bangkalan Madura.

Mengajar dan Meneliti: Komitmen pada Dunia Akademik

Sebagai Lektor Kepala di Program Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura, Khoirul dikenal sebagai dosen yang menguasai berbagai bidang—mulai dari sosiologi kesehatan, pendidikan, hingga korupsi. Matanya bersinar saat menjelaskan kompleksitas masyarakat melalui lensa sosiologi kualitatif. Ia juga sering mengajak mahasiswanya turun ke lapangan, seperti saat meneliti konflik pengembangan tebu di Madura atau peran perempuan dalam pertanian.

Penelitiannya tak hanya berhenti di ruang kuliah. Bersama perusahaan gula PTPN X dan lembaga penelitian, ia mengungkap dinamika sosial di balik industri tebu rakyat. Proyek 2018 berjudul “Distrust: Runtuhnya Modal Sosial dalam Pengembangan Tebu Rakyat di Madura” menjadi salah satu karyanya yang paling menggugah, mengingatkan pentingnya kepercayaan dalam pembangunan ekonomi lokal.

Jejak Internasional: Dari Moskow hingga Jurnal Dunia

Pengalaman hidup di Rusia selama beberapa tahun tak hanya memberinya gelar doktor, tetapi juga wawasan global. Saat masih menjadi mahasiswa, ia aktif di organisasi Permira (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Rusia), memimpin proyek “Kehidupan Sehat Mahasiswa Indonesia di Rusia”. Ia juga menulis artikel ilmiah di jurnal internasional seperti Vesnik (RUDN) dan Journal of Social and Science, membawa perspektif Indonesia ke kancah akademik dunia.

Bukunya, Vodka, Bunga, dan Cinta* (2010), mencerminkan refleksi pribadinya tentang budaya dan identitas saat tinggal di negeri asing. Sementara karya lainnya, Mistik Politik Gus Dur, menggabungkan dua dunia yang ia cintai: sosiologi dan spiritualitas.

Pengabdian yang Tak Pernah Berhenti

Khoirul tak hanya berkutat di ruang akademik. Sejak 2009, ia terlibat dalam kampanye kesehatan masyarakat, baik di Surabaya maupun Moskow. Ia percaya bahwa ilmu sosial harus hadir untuk menjawab masalah nyata, seperti pola hidup sehat anak sekolah atau peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat.

Sebagai Atase Pendidikan di KBRI Moskow, ia kini memperluas pengabdiannya. Ia membangun jembatan kolaborasi antara universitas Indonesia dan Rusia, membimbing mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di sana, serta mempromosikan keunggulan pendidikan tinggi Tanah Air.

Seorang Sosiolog dengan Hati untuk Pendidikan

Khoirul Rosyadi adalah sosok yang memadukan ketekunan akademis, kepedulian sosial, dan jiwa diplomatik. Dari Madura yang kental dengan tradisi, hingga Moskow yang dingin menyelimuti, ia tetap konsisten pada prinsipnya: ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.

Baginya, menjadi Atase Pendidikan bukan sekadar jabatan, melainkan panggilan untuk menginspirasi generasi muda Indonesia agar berani bermimpi, bahkan hingga ke kutub utara.