Kamis, 01 Mei 2025
Beranda
Cari
Menu
Bagikan
Lainnya
18 Apr 2025 11:45 - 3 menit membaca

Tragedi Pelecehan Seksual di RSHS: Alarm bagi Etika Kedokteran Indonesia

Bagikan

Di balik tembok tebal Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, sebuah insiden memilukan mengguncang kepercayaan publik terhadap dunia medis. Seorang dokter residen anestesi dari Universitas Padjadjaran diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasien di bawah umur dengan memanfaatkan obat bius. Kasus ini memicu pertanyaan serius tentang pengawasan etik di rumah sakit pendidikan.

Modus yang Mengejutkan

Pelaku, berinisial DA (28), ditangkap Polda Jawa Barat pada 29 Maret 2024 di sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Penangkapan ini dilakukan setelah keluarga korban melaporkan kejanggalan pasca-prosedur medis, di mana korban menunjukkan tanda-tanda trauma tidak wajar.

Menurut penyelidikan, pelaku memanfaatkan statusnya sebagai dokter residen untuk mendekati korban, memberikan obat bius tanpa indikasi medis, lalu melakukan pelecehan seksual saat korban tak sadarkan diri. Ironisnya, kejadian ini terjadi di lingkungan rumah sakit—tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pasien.

Pelanggaran Multidimensi: Etik, Disiplin, dan Hukum

Tindakan pelaku melanggar prinsip dasar kedokteran, termasuk non-maleficence (tidak membahayakan pasien) dan beneficence (berbuat baik). Selain itu, pelaku juga melanggar aturan disiplin dengan memberikan anestesi tanpa indikasi medis yang sah.

Dari sisi hukum, pelaku dapat dijerat dengan pasal kekerasan seksual dan penyalahgunaan profesi berdasarkan UU KUHP, UU Kesehatan, dan Permenkes tentang Konsil Kesehatan Indonesia. Namun, menurut dr. Charles, kasus ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan juga kegagalan sistem pengawasan dalam pendidikan kedokteran.

Dampak pada Korban dan Kepercayaan Publik

Korban mengalami trauma psikologis mendalam dan kini menjalani pendampingan psikologis. Keluarganya menghadapi proses pemulihan yang panjang. Sementara itu, masyarakat merespons dengan kemarahan, terutama karena kasus ini mengekspos celah pengawasan di rumah sakit pendidikan ternama.

Sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSHS dan Universitas Padjadjaran kini berada di bawah sorotan. Kementerian Kesehatan RI telah berkomitmen memperketat regulasi pengawasan praktik klinis peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), termasuk mewajibkan pengawasan langsung oleh dokter senior dan evaluasi ketat.

Reformasi Sistem: Langkah ke Depan

Penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya melalui proses hukum. Dibutuhkan pendekatan restoratif yang mencakup pemulihan korban, audit internal, dan perbaikan sistem. Beberapa langkah krusial yang harus dilakukan:

Audit praktik klinik di semua rumah sakit pendidikan.

  • Penegakan sanksi tegas bagi pelaku dan pihak yang lalai mengawasi.
  • Pembentukan satuan etik independen untuk memantau pelaksanaan etik kedokteran.
  • Integrasi kurikulum etik dan hukum kesehatan sejak dini dalam pendidikan kedokteran.

Dari Tragedi Menuju Perubahan

Kasus ini harus menjadi momentum transformasi dalam dunia medis Indonesia. RSHS dan Unpad tidak hanya perlu meminta maaf, tetapi juga memimpin gerakan reformasi pendidikan profesi dokter. Masyarakat berharap keadilan ditegakkan secara transparan dan sistem diperbaiki agar tragedi serupa tidak terulang.

Pendidikan kedokteran harus menghasilkan dokter yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga berintegritas dan berempati. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik terhadap profesi mulia ini dapat dipulihkan.

Oleh: dr. Charles M. Tampubolon, SH,M.KKK. Alumni Rusia. Advokat Peradi, Konsultan medikolegal BRINS, Komisi Advokasi KOHKARSSI Bogor Raya, Pengajar Etik Hukum, Vokasi UI, Kabid Kesehatan DPP GRIB JAYA.